Awalnya, dia dijanjikan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di Kuala Lumpur, Malaysia. Namun, pihak yang menjanjikan pekerjaan tersebut justru menjebak Mary Jane dengan menjadikannya kurir narkoba jenis heroin. Mary Jane Veloso, 30 tahun, adalah orang tua tunggal dengan dua putra, berasal dari keluarga miskin. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani musiman di Hacienda Luisita dengan upah sangat kecil.
Hacienda Luisita adalah lahan perkebunan yang dimiliki Presiden Filipina, Benigno Aquino III. Mary Jane bungsu dari 5 bersaudara dan hanya mampu bersekolah hingga kelas 1 SMP. Dia menikah muda dan memiliki dua anak. Untuk membantu ekonomi keluarganya, Mary Jane bekerja sebagai pemulung dengan mengumpulkan sampah-sampah plastik.
Tanggal 19 April 2010, seorang kawannya, Maria Christina Serio (warga Talavera, Nueva Ecija), menawarkan pekerjaan di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga. Mary Jane setuju, dia kemudian memberikan uang sebesar 20 ribu peso, 1 sepeda motor dan sebuah telepon seluler kepada Maria Christina, sebagai pengganti ongkos yang diperlukan untuk mengurus keberangkatan Jane.
Mary Jane berangkat ke Malaysia dengan membawa satu celana dan sepasang baju. Sayang, sesampainya di Malaysia, Mary Jane mendapat kabar bahwa kesempatan kerja sudah ditutup. Namun dia dijanjikan pekerjaan lain, sehingga selama tiga hari dia tinggal di Malaysia, diajak jalan-jalan dan membeli pakaian.
Pada 26 April 2010, Christina menyuruh Mary Jane untuk segera berkemas karena ada pekerjaan untuknya di Indonesia. Christina memberi sejumlah uang dan koper kosong, lalu memasukan pakaian Mary Jane ke dalam koper. Saat mendarat di Jogjakarta dan melewati X-Ray, petugas mencurigai koper Jane. Setelah dibongkar dan semua isinya dikeluarkan, tidak ditemukan keanehan. Namun ketika dimasukkan lagi ke dalam mesin X-Ray tampak barang mencurigakan. Petugas menemukan heroin senilai 2,6 kg senilai USD$ 500.000.
Tidak ada kepastian hukum apakah Jane bersalah atau tidak. Juga tidak ada bantuan hukum, pernyataan dan investigasi kasus ini dari pemerintah. Menurut Agus Salim pengacara Mary Jane di Indonesia, kliennya tidak mampu membela dirinya sendiri. Ketika diinterogasi oleh polisi bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia yang saat itu tidak dipahaminya.
Dalam proses pengadilan, ada bantuan penerjemahan yang disediakan oleh pengadilan. Sayangnya bantuan penerjemah adalah mahasiswa akademi bahasa asing yang tidak memiliki lisensi dari asosiasi penerjemah bahasa Indonesia. Pengadilan singkat bagi Mary Jane berakhir bulan Oktober 2010.
Pada Agustus 2011, Presiden Aquino meminta pengampunan bagi Mary Jane yang ditujukan pada pemerintahan Presiden SBY. Pada masa itu Indonesia memiliki moratorium untuk menunda hukuman mati dan pengampunan belum ditindaklanjuti hingga akhir kepemimpinan SBY. Oktober 2014, Indonesia memiliki presiden baru. Tidak lama setelah Joko Widodo dilantik dia mengumumkan perang terhadap kejahatan narkotika. Presiden menolak semua permintaan pengampunan (clemency) dari semua terpidana yang sudah dijatuhi vonis mati. Pada bulan Januari 2015 nama Mary Jane termasuk dalam daftar yang akan dihukum mati.
Pada 3 hingga 4 Maret 2015 dilangsungkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Sleman untuk mencari jika ada bukti-bukti baru dalam kasus Mary Jane. Pihak pengacara Mary berpendapat bahwa kasus ini berhak ditinjau ulang karena selama proses peradilan sebelumnya, Mary Jane tidak didampingi penerjemah tersumpah dan profesional sehingga cacat hukum. Bahkan, Kepala Sekolah Akademi Bahasa Asing di Jogjakarta pun mengakui kala itu penerjemah Mary Jane tercatat sebagai siswa sekolah mereka.
Untuk memperkuat argumen ini, pengacara menggunakan kasus yang menimpa Nonthanam M Saichon seorang warga negara Thailand dalam kasus narkotika yang juga secara teknis memiliki cacat karena tidak ada penerjemah yang layak. Tetapi pada 25 Maret 2015, Mahkamah Agung Republik Indonesia (Supreme Court) menolak peninjauan kembali kasus Mary Jane.
Meski demikian, pemerintah Filipina masih berusaha menyelamatkan Mary Jane. Pemerintah sedang berusaha mengajukan petisi kedua untuk Judicial Review yang memang secara hukum masih dapat dilakukan. Namun masih belum jelas apakah usaha tersebut diperbolehkan sistem peradilan Indonesia.
Pengacara Mary Jane masih mempelajari pilihan-pilihan jalur hukum terakhir yang dapat dilakukan. Utusan PBB Christhof Heyns yang diberi mandat menangani masalah-masalah internasional extra judicial dan hukuman mati sembarangan juga sudah mengajukan keberatan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut hukuman mati terhadap Mary Jane dan 14 terhukum lain atas dasar laporan dari UN Commisioner for Human Rights.
Pasalnya mereka menjalani proses peradilan yang cacat hukum. Dalam laporan yang sama mereka dianggap tidak menerima cukup bantuan hukum dan tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh penerjemah yang layak. Mereka juga tidak didampingi perwakilan hukum pada tiap tahapan peradilan yang dialaminya.
Sementara itu dukungan terhadap kasus Mary Jane terus mengalir. Organisasi Migrante International dan Migrante Sectoral Party, serta Jaringan Buruh Migran Indonesia, bersama keluarga Mary Jane di Cabanatuan City tengah melancarkan kampanye untuk menggalang dukungan solidaritas warga untuk peduli dan menyelamatkan nyawa Mary Jane.
Sekarang memang sedikit terlambat. Entah kenapa, pemerintah Filipina sangat lambat memproses semua dokumen dan bukti baru yang dikumpulkan tim pengacara. Tapi kita semua tidak boleh berhenti untuk memulangkan Mary Jane ke keluargnya. Dia potret orang miskin Filipina, yang karena masalah ekonomi, memutuskan keluar dari negaranya. Hal seperti ini mungkin terjadi pada siapun. Faktanya Mary Jane adalah korban perdagangan manusia, yang seharusnya mendapat perlindungan.
Source:
http://geotimes.co.id
http://www.merdeka.com
http://www.antarayogya.com
https://www.youtube.com
0 comments:
Post a Comment